Sabtu, 20 November 2010

Pendekatan baru penanganan anemia

Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin  (protein  pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh .
Gambar 1. Jumlah sel darah normal dibandingkan anemia
Gambar 2. Gejala anemia

Pendekatan Baru Penanganan Anemia
Para peneliti dari Universitas  Kalifornia,  San  Diego  (UCSD)  telah menemukan kunci mekanisme bagaimana  tubuh  mengatur  metabolisme zat besi, sebuah temuan  yang  menghasilkan pendekatan baru bagi terapi  anemia.  Temuan yang  dilaporkan  dalam publikasi  online  The  Journal of Clinical Investigation, edisi Juli 2007, merupakan usaha  kolaborasi  Randall Johnson,  Ph.D.,  profesor biologi dari UCSD dan Victor Nizet, MD., profesor pediatri dan farmasi di UCSD School  of  Medicine  dan Scaggs  School  of  Pharmacy  and  Pharmaceutical Sciences.
Zat besi adalah bahan esensial bagi sejumlah  proses  biologis  normal, termasuk  produksi  sel  darah merah yang  menghantarkan  oksigen  ke dalam jaringan tubuh. Dengan mempelajari  pengaturan  zat  besi  dan produksi sel darah merah tikus, para ahli  mengungkapkan  hubungan  antara sepasang protein yang memainkan  peran  sentral  dalam memantau hormon yang disebut hepcidin.
Hormon hepcidin adalah sebuah peptida atau protein kecil yang dihasilkan di hati dan mengatur  kadar  zat besi dalam tubuh. Hepcidin mencegah tubuh menyerap  zat  besi  berasal  dari makanan  atau  suplemen  lebih  dari yang  diperlukan  dan  menahan  pengambilan zat besi dari sel-sel.
Gambar 3. Hepcidin 
Pasien dengan kanker, infamasi kronik  dan  infeksi  sering  mengandung kadar  hepcidin  tinggi,  yang  menurunkan  persediaan  zat  besi.  Konsekuensinya, pasien-pasien  ini menderita  anemia  karena  produksi  sel darah merah yang rendah.
Untuk merespon anemia dengan  tepat,  tubuh  harus  menurunkan  hepcidin  agar  dapat  meningkatkan  penyerapan  zat  besi  yang  diperlukan.  Sampai  saat  ini,  para  peneliti  tidak memahami dengan jelas mekanisme  kerja hepcidin.
Tim  peneliti  UCSD  menemukan bahwa protein yang dikenal sebagai hypoxia-inducible  transcription  factor (HIF)  berperan  kritis  dalam  mengatur  harmoni  respon  hepcidin  dalam hati.    Sebaliknya,  kadar  HIF  diatur oleh aksi protein lain yang dikenal sebagai faktor von-Hippel Lindau (vHL).Faktor vHL bekerja menurunkan kadar HIF saat oksigen  tinggi atau zat besi melimpah.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa HIF bertanggung jawab menstimulasi eritropoietin (EPO), hormon yang  menginstruksikan  sumsum  tulang  belakang  untuk  menghasilkan sel-sel darah merah baru. Tim UCSD juga mengamati bahwa HIF juga secara kuat menghambat produksi hepcidin di dalam hati.
Carole  Peyssonnaux,  Ph.D.,  pimpinan dan peneliti pendahulu bersama Nizet dan Johnson, mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan peranan sentral  protein  vHL  dan  HIF  dalam mengatur kadar zat besi. Pada anemia,  tubuh merespon  rendahnya zat besi dan kadar oksigen dengan meningkatkan HIF, yang menekan hepcidin dan memacu EPO untuk menghasilkan  zat  besi  dan  sel-sel  darah merah  baru  untuk memperbaiki masalah.
Yang  penting,  para  ahli  mengamati bahwa HIF mampu menekan  hepcidin walaupun pada  tikus  yang menderita  perubahan  infamasi.  Nizet mengatakan,  temuan  kunci  ini  menyarankan  strategi  terapi  obat  baru untuk memacu HIF  atau menghambat  vHL  yang  dapat  menormalkan kadar hepcidin  tinggi pada penderita infeksi kronis atau penyakit infamasi yang anemis.

Sumber: Cermin Dunia Kedokteran Edisi 159, dan berbagai sumber lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar