Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh .
Gambar 1. Jumlah sel darah normal dibandingkan anemia
Gambar 2. Gejala anemia
Pendekatan Baru Penanganan Anemia
Para peneliti dari Universitas Kalifornia, San Diego (UCSD) telah menemukan kunci mekanisme bagaimana tubuh mengatur metabolisme zat besi, sebuah temuan yang menghasilkan pendekatan baru bagi terapi anemia. Temuan yang dilaporkan dalam publikasi online The Journal of Clinical Investigation, edisi Juli 2007, merupakan usaha kolaborasi Randall Johnson, Ph.D., profesor biologi dari UCSD dan Victor Nizet, MD., profesor pediatri dan farmasi di UCSD School of Medicine dan Scaggs School of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.
Zat besi adalah bahan esensial bagi sejumlah proses biologis normal, termasuk produksi sel darah merah yang menghantarkan oksigen ke dalam jaringan tubuh. Dengan mempelajari pengaturan zat besi dan produksi sel darah merah tikus, para ahli mengungkapkan hubungan antara sepasang protein yang memainkan peran sentral dalam memantau hormon yang disebut hepcidin.
Hormon hepcidin adalah sebuah peptida atau protein kecil yang dihasilkan di hati dan mengatur kadar zat besi dalam tubuh. Hepcidin mencegah tubuh menyerap zat besi berasal dari makanan atau suplemen lebih dari yang diperlukan dan menahan pengambilan zat besi dari sel-sel.
Gambar 3. Hepcidin
Pasien dengan kanker, infamasi kronik dan infeksi sering mengandung kadar hepcidin tinggi, yang menurunkan persediaan zat besi. Konsekuensinya, pasien-pasien ini menderita anemia karena produksi sel darah merah yang rendah.
Untuk merespon anemia dengan tepat, tubuh harus menurunkan hepcidin agar dapat meningkatkan penyerapan zat besi yang diperlukan. Sampai saat ini, para peneliti tidak memahami dengan jelas mekanisme kerja hepcidin.
Tim peneliti UCSD menemukan bahwa protein yang dikenal sebagai hypoxia-inducible transcription factor (HIF) berperan kritis dalam mengatur harmoni respon hepcidin dalam hati. Sebaliknya, kadar HIF diatur oleh aksi protein lain yang dikenal sebagai faktor von-Hippel Lindau (vHL).Faktor vHL bekerja menurunkan kadar HIF saat oksigen tinggi atau zat besi melimpah.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa HIF bertanggung jawab menstimulasi eritropoietin (EPO), hormon yang menginstruksikan sumsum tulang belakang untuk menghasilkan sel-sel darah merah baru. Tim UCSD juga mengamati bahwa HIF juga secara kuat menghambat produksi hepcidin di dalam hati.
Carole Peyssonnaux, Ph.D., pimpinan dan peneliti pendahulu bersama Nizet dan Johnson, mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan peranan sentral protein vHL dan HIF dalam mengatur kadar zat besi. Pada anemia, tubuh merespon rendahnya zat besi dan kadar oksigen dengan meningkatkan HIF, yang menekan hepcidin dan memacu EPO untuk menghasilkan zat besi dan sel-sel darah merah baru untuk memperbaiki masalah.
Yang penting, para ahli mengamati bahwa HIF mampu menekan hepcidin walaupun pada tikus yang menderita perubahan infamasi. Nizet mengatakan, temuan kunci ini menyarankan strategi terapi obat baru untuk memacu HIF atau menghambat vHL yang dapat menormalkan kadar hepcidin tinggi pada penderita infeksi kronis atau penyakit infamasi yang anemis.
Sumber: Cermin Dunia Kedokteran Edisi 159, dan berbagai sumber lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar